- Faktor
Internal (Dalam)
a. Reaksi frustasi diri
Dengan semakin pesatnya usaha pembangunan, modernisasi yang
berakibat pada banyaknya anak remaja yang tidak mampu menyesuaikan diri
terhadap berbagai perubahan sosial itu. Mereka lalu mengalami banyak kejutan,
frustasi, ketegangan batin dan bahkan sampai kepada gangguan jiwa.
b. Gangguan pengamatan dan tanggapan pada anak remaja
Adanya gangguan pengamatan dan tanggapan di atas sangat
mengganggu daya adaptasi dan perkembangan pribadi anak yang sehat. Gangguan
pengamatan dan tanggapan itu, antara lain : halusinasi, ilusi dan gambaran
semua.
Tanggapan anak tidak merupakan pencerminan realitas
lingkungan yang nyata, tetapi berupa pengolahan batin yang keliru, sehingga
timbul interpretasi dan pengertian yang salah. Sebabnya ialah
semua itu diwarnai harapan yang terlalu muluk, dan kecemasan yang berlebihan.
c. Gangguan berfikir dan intelegensi pada diri remaja
Berfikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi yang sehat
dan adaptasi yang wajar terhadap tuntutan lingkungan. Berpikir juga penting
bagi upaya pemecahan kesulitan dan permasalahan hidup sehari-hari. Jika anak
remaja tidak mampu mengoreksi pekiran-pekirannya yang salah dan tidak sesuai
dengan realita yang ada, maka pikirannya terganggu.
d. Gangguan perasaan pada anak remaja
Perasaan memberikan nilai pada situasi kehidupan dan
menentukan sekali besar kecilnya kebahagiaan serta rasa kepuasan. Perasaan
bergandengan dengan pemuasan terhadap harapan, keinginan dan kebutuhan manusia.
Jika semua tadi terpuaskan, orang merasa senang dan bahagia.
Gangguan-gangguan fungsi perasaan itu antara lain :
1) Inkontinensi emosional ialah tidak terkendalinya perasaan
yang meledak-ledak, tidak bisa dikekang.
2) Labilitas emosional ialah suasana hati yang terus menerus
berganti-ganti dan tidak tetap. Sehingga anak remaja akan cepat marah, gelisah,
tidak tenang dan sebagainya.
3) Ketidak pekaan dan mempunyai perasaan biasa disebabkan oleh
sejak kecil anak tidak pernah diperkenalkan dengan kasih sayang, kelembutan,
kebaikan dan perhatian.
4) Kecemasan merupakan bentuk “ketakutan” pada hal-hal yang
tidak jelas, tidak riil, dan dirasakan sebagai ancaman yang tidak bisa
dihindari.
- Faktor
Eksternal (Luar)
Selain faktor dari dalam ada juga faktor yang datang dari
luar anak tersebut, antara lain :
a. Keluarga
Tidak diragukan bahwa keluarga memegang peranan penting dalam
pembentukan pribadi remaja dan menentukan masa depannya. Mayoritas remaja yang
terlibat dalam kenakalan atau melakukan tindak kekerasan biasanya berasal dari
keluarga yang berantakan, keluarga yang tidak harmonis di mana pertengkaran
ayah dan ibu menjadi santapan sehari-hari remaja. Bapak yang otoriter, pemabuk,
suka menyiksa anak, atau ibu yang acuh tak acuh, ibu yang lemah kepribadian
dalam atri kata tidak tegas menghadapi remaja, kemiskinan yang membelit
keluarga, kurangnya nilai-nilai agama yang diamalkan dll semuanya menjadi
faktor yang mendorong remaja melakukan tindak kekerasan dan kenakalan.
Struktur keluarga anak nakal pada umumnya menunjukkan
beberapa kelemahan/cacat di pihak ibu, antara lain ialah sebagai berikut:
1) Ibu ini tidak hangat, tidak mencintai anak-anaknya, bahkan
sering membenci dan menolak anak laki-lakinya, sama sekali tidak acuh terhadap
kebutuhan anaknya.
2) Ibu kurang mempunyai kesadaran mengenai fungsi kewanitaan
dan keibuannya; mereka lebih banyak memiliki sifat ke jantan-jantanan.
3) Reaksi terhadap kehidupan anak-anaknya tidak adekuat, tidak
cocok, tidak harmonis. Mereka tidak sanggup memenuhi kebutuhan anak-anaknya,
baik yang fisik maupun yang psikis sifatnya.
4) Kehidupan perasaan ibu-ibu tadi tidak mantap, tidak konsisten,
sangat mudah berubah dalam pendiriannya, tidak pernah konsekuen., dan tidak
bertanggung jawab secara moral.
Beberapa kelemahan di pihak ayah yang mengakibatkan anaknya
menjadi nakal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1) Mereka menolak anak laki-lakinya.
2) Ayah-ayah tadi hampir selalu absen atau tidak pernah ada di
tengah keluarganya, tidak perduli, dan sewenang-wenang terhadap anak dan
istrinya.
3) Mereka pada umumnya alkoholik, dan mempunyai prestasi
kriminalitas, sehingga menyebarkan perasaan tidak aman (insekuritas) kepada
anak dan istrinya.
4) Ayah-ayah ini selalu gagal dalam memberikan supervisi dan
tuntunan moral kepada anak laki-lakinya.
5) Mereka mendidik anaknya dengan disiplin yang terlalu ketat
dan keras atau dengan disiplin yang tidak teratur, tidak konsisten.
Selain itu, ada juga beberapa faktor yang datang dari
keluarga, antara lain :
1) Rumah tangga berantakan. Bila rumah tangga terus menerus
dipenuhi konflik yang serius, menjadi retak, dan akhirnya mengalami perceraian,
maka mulailah serentetan kesulitan bagi semua anggota keluarga, terutama
anak-anak. Pecahlah harmonis dalam keluarga, dan anak menjadi sangat bingung,
dan merasakan ketidakpastian emosional. Dengan rasa cemas, marah dan risau
anak mengikuti pertengkaran antara ayah dengan ibu. Mereka tidak tahu harus
memihak kepada siapa. Batin anak menjadi sangat tertekan, sangat menderita, dan
merasa malu akibat ulah orang tua mereka. Ada perasaan ikut bersalah dan
berdosa, serta merasa malu terhadap lingkungan.
2) Perlindungan-lebih dari orang tua. Bila orang tua terlalu
banyak melindungi dan memanjakan anak-anaknya, dan menghindarkan mereka dari
berbagai kesulitan atau ujian hidup yang kecil, anak-anak pasti menjadi rapuh
dan tidak akan pernah sanggup belajar mandiri. Mereka akan selalu bergantung
pada bantuan - orang tua, merasa cemas dan bimbang ragu selalu; aspirasi dan
harga-dirinya tidak bisa tumbuh berkembang. Kepercayaan dirinya menjadi
hilang.
3) Penolakan orang tua. Ada pasangan suami-istri yang tidak
pernah bisa memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu. Mereka ingin terus
melanjutkan kebiasaan hidup yang lama, bersenang-senang sendiri seperti sebelum
kawin. Mereka tidak mau memikirkan konsekuensi dan tanggung jawab selaku orang
dewasa dan orang tua. Anak-anaknya sendiri ditolak, dianggap sebagai beban,
sebagai hambatan dalam meniti karir mereka. Anak mereka anggap cuma
menghalang-halangi kebebasan bahkan cuma merepotkan saja.
4) Pengaruh buruk dari orang tua. Tingkah-laku kriminal,
a-susila (suka main perempuan, korup, senang berjudi, sering mabuk-mabukan,
kebiasaan minum dan menghisap rokok berganja, bertingkah sewenang-wenang, dan
sebagainya) dari orang tua atau salah seorang anggota keluarga bisa memberikan
pengaruh menular atau infeksius kepada anak. Anak jadi ikut-ikutan kriminal
dan a-susila, atau menjadi anti-sosial. Dengan begitu kebiasaan buruk orang
tua mengkondisionir tingkah-laku dan sikap hidup anak-anaknya.
b. Lingkungan Sekolah yang Tidak Menguntungkan
Sekolah kita sampai waktu sekarang masih banyak berfungsi
sebagai "sekolah dengar" daripada memberikan kesempatan luas
untuk membangun aktivitas, kreativitas dan inventivitas anak. Dengan demikian
sekolah tidak membangun dinamisme anak, dan tidak merangsang kegairahan belajar
anak.
Selanjutnya, berjam-jam lamanya setiap hari anak-anak harus
melakukan kegiatan yang tertekan, duduk, dan pasif mendengarkan, sehingga
mereka menjadi jemu, jengkel dan apatis.
Di kelas, anak-anak-terutama para remajanya sering mengalami
frustasi dan tekanan batin, merasa seperti dihukum atau terbelenggu oleh
peraturan yang "tidak adil". Di satu pihak pada dirinya anak
ada dorongan naluriah untuk bergiat, aktif dinamis, banyak bergerak dan
berbuat; tetapi di pihak lain anak dikekang ketat oleh disiplin
mati di sekolah serta sistem regimentasi dan sistem sekolah-dengar.
Ada pula guru yang kurang simpatik, sedikit memiliki dedikasi
pada profesi, dan tidak menguasai didaktik-metodik mengajar. Tidak jarang
profesi guru/dosen dikomersialkan, dan pengajar hanya
berkepentingan dengan pengoperan materi ajaran belaka. Perkembangan kepribadian
anak sama sekali tidak diperhatikan oleh guru, sebab mereka lebih
berkepentingan dengan masalah mengajar atau mengoperkan informasi belaka.
c. Media elektronik
Tv, video, film dan sebagainya nampaknya ikut berperan
merusak mental remaja, padahal mayoritas ibu-ibu yang sibuk menyuruh anaknya
menonton tv sebagai upaya menghindari tuntutan anak yang tak ada habisnya.
Sebuah penelitian lapangan yang pernah dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa
film-film yang memamerkan tindak kekerasan sangat berdampak buruk pada tingkah
laku remaja. Anak yang sering menonton film-film keras lebih terlibat dalam
tindak kekerasan ketika remaja dibandingkan dengan teman-temannya yang jarang
menonton film sejenis. Polisi Amerika menyebutkan bahwa sejumlah tindak
kekerasan yang pernah ditangani polisi ternyata dilakukan oleh remaja persis
sama dengan adegan-adegan film yang ditontonnya. Ternyata anak meniru dan
mengindentifikasi film-film yang ditontonnya.
d. Pengaruh pergaulan
Di usia remaja, anak mulai meluaskan pergaulan sosialnya
dengan teman-tema sebayanya. Remaja mulai betah berbicara berjam jam melalui
telefon. Topik pembicaraan biasanya seputar pelajaran, film, tv atau
membicarakan cowok/ cewek yang ditaksir dsb.
Hubungan sosial di masa remaja ini
dinilai positif karena bisa mengembangkan orientasi remaja memperluas visi
pandang dan wawasan serta menambah informasi, bahkan dari hubungan sosial ini
remaja menyerap nilai-nilai sosial yang ada di sekelilingnya. Semua faktor ini
menjadi penyokong dalam pembentukan kepribadiannya dan menambah rasa percaya
diri karena pengaruh pergaulan yang begitu besar pada diri remaja, maka
hubungan remaja dengan teman sebayanya menentukan kualitas remaja itu. Kalau
ini disadari oleh remaja, maka dengan sadar remaja akan menyeleksi teman
pergaulannya.
Semoga Remaja yang lainnya tidak
pernah melakukan kenakalan-kenakalan seperti diatas dan menjadi seorang remaja
yang berbudi pekerti baik,taat pada peraturan,orangtua,guru,selalu disiplin
serta cerdas dan berinovativ memajukan bangsa kita INDONESIA
Amien................